wartanasional.co, Banda Aceh - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh kembali menggelar rapat dengar kesaksian penghilangan orang dari para korban konflik Aceh silam.
Kegiatan yang mengusung tema 'Penghilangan orang: Kembalikan mereka, jangan terulang', ini dilaksanakan selama dua hari sejak 19 sampai 20 November 2019, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi mengatakan, langkah untuk mendengarkan kesaksian itu dilakukan bagian dari upaya KKR Aceh sendiri mengungkapkan kebenaran dari suara korban yang selama ini terkurung di desa-desa terpencil agar terdengar kepermukaan yakni tersampaikan langsung kepada pemerintah.
"Agar menimbulkan rasa puas pada korban, bahwa suaranya didengar publik. Apalagi kegiatan ini dihadiri para pemerintah kabupaten/kota (Bupati dan Wali Kota) serta dinas terkait," kata Afridal Darmi kepada wartawan di sela-sela kegiatan rapat dengar kesaksian, Selasa (19/11/2019).
Afridal berujar, rapat dengar kesaksian ini juga agar kebutuhan korban dapat didengar langsung pemerintah, sehingga kedepannya kebutuhan dan hak-hak korban segera terpenuhi.
Afridal menyampaikan, sebuah ini penghilangan orang itu belum diakui, sehingga masih menimbulkan penderitaan terhadap keluarga korban. Bahkan, mereka juga tidak bisa menyatakan diri sebagai anak yatim karena memang status orang tuany belum diketahui. Akibatnya, masyarakat juga tidak bisa membantu mereka sebagai anak yatim.
Selain itu, lanjut Afridal, juga terdapat seorang istri yang tidak bisa menikah lagi karena status suami yang belum ada kejelasan. Berbeda ketika istri yang suaminya meninggal, dan itu memang sudah memiliki kejelasan, sehingga bisa menikah kembali.
"Tapi orang hilang itu statusnya tidak pernah jelas, tidak ada dalam keluarga dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. ini menimbulkan penderitaan berkelanjutan yang harus diselesaikan. Ada pemulihan yang harus dilakukan untuk orang-orang seperti ini," tutur Afridal.
Afridal menuturkan, setelah mendengarkan kesaksian ini, KKR Aceh akan segera memasukkan beberapa rekomendasi usulan para ahli yang berbasis dari suara korban.
Salah satunya terdapat rekomendasi mendesak yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu waktu selama dua tahun saat KKR Aceh memasukkan reparasi secara konfrehensif.
Misalnya, kata Afridal, seperti status kependudukan, ketika KKR Aceh bisa menjelaskan data dan informasi orang hilang itu, maka bisa menjadi dasar untuk penetapan pengadilan.
"Kalau bisa kita lakukan maka sekian ratus orang menjadi jelas statusnya, dan pihak keluarga mendapatkan hak lebih baik," ucapnya.
Tak hanya itu saja, menurut Afridal sesuai dengan penyampaian para ahli, pencarian orang hilang itu bisa juga dilakukan dengan identifikasi yang pernah dipraktikkan beberapa negara seperti Venezuela dan El Savador.
"Caranya, akan ada pelibatan ahli forensik biologi untuk membantu mengidentifikasi orang-orang yang selama ini dikuburkan dan tidak diketahui identitasnya. Itu yang akan kita kerjakan kedepannya," ujar Afridal.
Afridal juga menyebutkan, sejauh ini berdasarkan hasil identifikasi KKR Aceh, korban penghilangan yang sudah bisa dipastikan mencapai 192 orang dari total 3.040 korban pelanggaran HAM di Aceh. Angka itu sesuai dengan catatan investigasi mereka dengan berbicara langsung bersama keluarga korban.
"Yang sudah kita identifikasi dan kita yakin pasti mereka adalah korban penghilangan orang itu sekitar 192. Jadi 192 orang itu dari 3.040 korban pelanggaran HAM di Aceh," sebutnya.
Afridal berharap, upaya yang saat ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada rakyat Aceh bahwa masih ada harapan penegakan HAM, serta memperbaiki nasib korban dan mengambil pelajaran sejarah.
"Tidak kalah penting kita dapat belajar dan memberi contoh kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan ada cara yang terhormat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu itu," pungkasnya.(Red)
Kegiatan yang mengusung tema 'Penghilangan orang: Kembalikan mereka, jangan terulang', ini dilaksanakan selama dua hari sejak 19 sampai 20 November 2019, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Ketua KKR Aceh, Afridal Darmi mengatakan, langkah untuk mendengarkan kesaksian itu dilakukan bagian dari upaya KKR Aceh sendiri mengungkapkan kebenaran dari suara korban yang selama ini terkurung di desa-desa terpencil agar terdengar kepermukaan yakni tersampaikan langsung kepada pemerintah.
"Agar menimbulkan rasa puas pada korban, bahwa suaranya didengar publik. Apalagi kegiatan ini dihadiri para pemerintah kabupaten/kota (Bupati dan Wali Kota) serta dinas terkait," kata Afridal Darmi kepada wartawan di sela-sela kegiatan rapat dengar kesaksian, Selasa (19/11/2019).
Afridal berujar, rapat dengar kesaksian ini juga agar kebutuhan korban dapat didengar langsung pemerintah, sehingga kedepannya kebutuhan dan hak-hak korban segera terpenuhi.
Afridal menyampaikan, sebuah ini penghilangan orang itu belum diakui, sehingga masih menimbulkan penderitaan terhadap keluarga korban. Bahkan, mereka juga tidak bisa menyatakan diri sebagai anak yatim karena memang status orang tuany belum diketahui. Akibatnya, masyarakat juga tidak bisa membantu mereka sebagai anak yatim.
Selain itu, lanjut Afridal, juga terdapat seorang istri yang tidak bisa menikah lagi karena status suami yang belum ada kejelasan. Berbeda ketika istri yang suaminya meninggal, dan itu memang sudah memiliki kejelasan, sehingga bisa menikah kembali.
"Tapi orang hilang itu statusnya tidak pernah jelas, tidak ada dalam keluarga dan tidak bisa ditinggalkan begitu saja. ini menimbulkan penderitaan berkelanjutan yang harus diselesaikan. Ada pemulihan yang harus dilakukan untuk orang-orang seperti ini," tutur Afridal.
Afridal menuturkan, setelah mendengarkan kesaksian ini, KKR Aceh akan segera memasukkan beberapa rekomendasi usulan para ahli yang berbasis dari suara korban.
Salah satunya terdapat rekomendasi mendesak yang bisa dilakukan tanpa harus menunggu waktu selama dua tahun saat KKR Aceh memasukkan reparasi secara konfrehensif.
Misalnya, kata Afridal, seperti status kependudukan, ketika KKR Aceh bisa menjelaskan data dan informasi orang hilang itu, maka bisa menjadi dasar untuk penetapan pengadilan.
"Kalau bisa kita lakukan maka sekian ratus orang menjadi jelas statusnya, dan pihak keluarga mendapatkan hak lebih baik," ucapnya.
Tak hanya itu saja, menurut Afridal sesuai dengan penyampaian para ahli, pencarian orang hilang itu bisa juga dilakukan dengan identifikasi yang pernah dipraktikkan beberapa negara seperti Venezuela dan El Savador.
"Caranya, akan ada pelibatan ahli forensik biologi untuk membantu mengidentifikasi orang-orang yang selama ini dikuburkan dan tidak diketahui identitasnya. Itu yang akan kita kerjakan kedepannya," ujar Afridal.
Afridal juga menyebutkan, sejauh ini berdasarkan hasil identifikasi KKR Aceh, korban penghilangan yang sudah bisa dipastikan mencapai 192 orang dari total 3.040 korban pelanggaran HAM di Aceh. Angka itu sesuai dengan catatan investigasi mereka dengan berbicara langsung bersama keluarga korban.
"Yang sudah kita identifikasi dan kita yakin pasti mereka adalah korban penghilangan orang itu sekitar 192. Jadi 192 orang itu dari 3.040 korban pelanggaran HAM di Aceh," sebutnya.
Afridal berharap, upaya yang saat ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada rakyat Aceh bahwa masih ada harapan penegakan HAM, serta memperbaiki nasib korban dan mengambil pelajaran sejarah.
"Tidak kalah penting kita dapat belajar dan memberi contoh kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan ada cara yang terhormat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu itu," pungkasnya.(Red)