Banda Aceh – Rabu sore itu, Gedung Utama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) diselimuti suasana khidmat. Deretan kursi penuh oleh tamu undangan—para pejabat daerah, tokoh masyarakat, dan insan pers—yang datang menyaksikan momen sakral: pelantikan tiga anggota baru dari Partai Aceh. Namun di balik seremoni formal dan dentingan palu sidang, terselip kisah perjalanan tiga sosok yang kembali menapaki jalan legislatif.
Salmawati, S.E., M.M., melangkah mantap menuju mimbar pengucapan sumpah. Ia menggantikan H. Ismail A. Jalil, atau yang lebih dikenal sebagai Ayahwa—tokoh karismatik yang kini dipercaya memimpin Aceh Utara. Bagi Salmawati, ini bukan sekadar pengisian kursi kosong. Ini adalah kelanjutan dari pengabdian, membawa suara konstituen yang pernah ia dampingi sebagai aktivis perempuan dan kader partai.
Di sisi lain, M. Yusuf Pang Ucok, S.H., menatap ruang sidang dengan pandangan teduh. Nama “Pang Ucok” sudah lama dikenal di kalangan masyarakat Aceh Timur, wilayah yang kini dipimpin oleh mantan anggota dewan yang ia gantikan, Iskandar Usman Al-Farlaky. Yusuf bukan orang baru dalam dunia politik. Baginya, kembali ke DPRA adalah panggilan untuk menuntaskan perjuangan yang belum selesai.
Yang paling senior di antara ketiganya, Ir. Azhar Abdurrahman, bukanlah wajah asing bagi rakyat Aceh Barat. Ia menggantikan Tarmizi, S.P., yang kini menjabat sebagai Bupati. Azhar membawa pengalaman panjang sebagai birokrat dan teknokrat. Langkahnya ke kursi legislatif menandai babak baru—bukan untuk mencari kekuasaan, tapi untuk memperkuat peran pengawasan dan membela kepentingan rakyat kecil.
Pelantikan dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 100.2.1.4-2281 dan 100.2.1.4-2979 Tahun 2025. Acara dimulai pukul 14.30 WIB, dipimpin Wakil Ketua DPRA H. Ali Basrah, S.Pd., M.M., dan dihadiri langsung oleh Gubernur Aceh dan sejumlah tokoh penting daerah.
Suasana berubah hening saat ayat suci Al-Qur’an dikumandangkan. Satu per satu, surat keputusan dibacakan, lalu sumpah diucapkan dengan tangan kanan terangkat dan hati penuh tekad. Setelahnya, penandatanganan berita acara dan penyematan lencana menjadi simbol bahwa mereka kini sah mengemban amanah rakyat.
“Ini bukan sekadar formalitas,” ujar H. Ali Basrah dalam sambutannya. “Kami percaya mereka akan menjadi penguat fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Kehadiran mereka adalah bentuk kontinuitas dalam menjaga stabilitas politik Aceh.”
Usai pelantikan, ketiganya langsung menempati kursi dewan—tanpa jeda, tanpa selebrasi berlebihan. Agenda kerja sudah menanti, seperti irama waktu yang tak bisa ditunda.
Acara ditutup dengan doa bersama. Di luar ruang sidang, ucapan selamat berdatangan dari kolega dan pejabat yang hadir. Tapi bagi Salmawati, Yusuf, dan Azhar, hari itu bukan puncak dari perjalanan. Itu adalah garis start—untuk kembali menyelami aspirasi rakyat dan menjadikan DPRA rumah bagi suara Aceh yang beragam. (***)