Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Forum Pemred SMSI Aceh Gelar FGD, Bahas Terkait Penetapan Dirut BAS

Kamis, 02 Maret 2023 | 20.24 WIB Last Updated 2023-03-02T13:24:14Z
Banda Aceh - Forum Pemimpin Redaksi Serikat Media Siber Indonesia (Pemred SMSI) Aceh menggelar focuss group discussion (FGD) dengan tema “Agar Bank Aceh Tetap Terjaga”. Kegiatan berlangsung di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Rabu (1/3/2023).

Adapun yang menjadi narasumber dalam diskusi tersebut adalah, mantan gubernur Aceh H Zaini Abdullah, anggota DPRA yang juga Pansus BUMA Azhar Abdurrahman, dan akademisi Universitas Syaih Kuala (USK) Prof Mukhlis Yunus.

Zaini Abdullah yang akrab disapa Abu Doto mengatakan, sudah muncul nama-nama Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh Syariah (BAS), tentu sudah ada sebelumnya diskusi yang dilakukan Pemerintah Aceh.

“Apakah diskusi ini bisa mengubahkannya, kalau tidak, sama seperti menaruh batu dibuang ke laut,” kata Abu Doto.

Ia melihat, saat dirinya menjabat Gubernur Aceh periode 2012-2017 dulu, dirinya mencoba untuk membuat kebijakan yang berguna bagi rakyat Aceh.

“Kalau di luar agak berat, mereka pikir syariah itu berat,” kata dia.
Ia menjelaskan, bahwa selama 25 tahun mengikuti pergerakan melawan Pemerintah Indonesia dan dirinya menginginkan hal-hal lain.

Sehingga, saat itu, dirinya memutuskan untuk bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan berangkat ke Swedia.

“Berat sekali apa yang saya punya dan sebagai bahan, apa yang ingin saya ceritakan kepada generasi yang lebih muda daripada saya. Saya ingin membahas memiliki arti
yang besar,” jelasnya.

Disisi lain, Profesor Mukhlis Yunus mengapresiasi kegiatan diskusi yang dihelat oleh Forum Pemred SMSI Aceh ini. Menurutnya, kegiatan ini menyangkut masa depan Aceh.

“Kalau salah memimpin tentu akan salah juga para pengikutnya. Sebagian terbesar keberhasilan sebuah perbankan atau pegiat bisnis ditentukan oleh siapa pemimpinnya,” kata Mukhlis.

Menurutnya, semua pihak setuju bahwa yang memimpin BAS adalah orang Aceh sendiri. Justru akan salah jika Bank Aceh dinakhodai oleh orang luar.

“Tentu mempunyai syarat. Syarat pertama, dunia perbankan ini bukan dunia persilatan, artinya diperlukan syarat-syarat minimum kompetensi tentang perbankan. Tidak hanya pada nyali bisnis, juga prospek ke depan apa yang sudah dipimpin,” jelasnya.

Mukhlis menuturkan, pemimpin Bank Aceh diharapkan juga menjadi agent of development, tidak cukup jika hanya mengandalkan pada kapasitas ASN konsumennya masih dominan.

“Ke depan kita giring Bank Aceh juga mengambil terhadap kredit KUR, memfasilitasi UMKM,” ungkapnya.

Menurutnya, keterbukaan perlu didorong sehingga masyarakat mendapatkan yang terbaik. Sebab, bank ini merupakan milik rakyat Aceh dan sahamnya milik pemerintah kabupaten/kota.

Sementara itu anggota Komisi III DPRA, Azhar Abdurrahman menyebutkan, bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah pertemuan dengan komisaris utama, OJK, dan terakhir dengan para direksi BAS.

“Kami menemukan beberapa masalah, di ujung akhir masa tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah, intervensi komisaris utama menyodorkan nama untuk melakukan seleksi di OJK, ternyata mental dan dikembalikan, kapasitas Bank Aceh tidak memadai. Sehingga terjadilah pelaksana tugas (plt) Dirut Bank Aceh,” bebernya.

Berdasarkan komentar dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kata Azhar, jika lebih dari satu bulan pelaksana tugas (Plt), maka hal ini akan sangat riskan.

Sebab, kata dia, kebijakan tidak dapat dilakukan sepenuhnya dan tidak efesien. Kemudian masuk Pj Gubernur Aceh, disini Pj harus memahami beberapa persoalan.

“Kami memahami persoalan psikologis dari komisaris utama dan direksi. Saya menafsirkan ada dua parpol dalam manajemen perusahaan ini, bukan mengurusnya, benefit, profit tetapi mengurus local party,” katanya.

Ia mengatakan, bahwa serangan pertama yaitu mengintervensi direksi dilarang untuk feed and proper test. Kemudian memberhentikan dirut secara tepat waktu, semestinya itu dapat di Plt selama masa proses rekrutmen yang baru.

“Sehingga tidak mengalami keguncangan dalam manajemen perbankan tersebut,” tuturnya.

Politisi Partai Aceh (PA) ini menjelaskan, soal regulasi, sudah masuk dalam monopoli manajemen uang perbankan, hanya keuangan syariah.

Sehingga industri keuangan tidak tumbuh di Aceh, pembiayaan investasi ke Aceh semakin takut, daya saing rendah. Padahal beberapa sektor hilirisasi harus melakukan pembiayaan, sehingga lapangan usaha tumbuh dan daya serap kerja akan meningkat.

Bahkan rekomendasi BI mengatakan net produc persaiangan pertumbuhan ekonomi antara Aceh dan Sumatra mengalami divisit Rp 40 triliun, mengalir ke Aceh karena tidak ada hilirisasi.

“Dari segi pembiayaan, hanya satu pembiayaan yaitu Bank Aceh karena monopoli bank, sehingga Bank Aceh dari analisis OJK mengatakan 83 pembiayaan konsumtif, 9 persen investasi, 9 persen untuk modal kerja,” ujarnya.

Sedangkan rekomendasi BI sebanyak 40 persen untuk UMKM, agar mengatasi kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi.

Sementara OJK dan BI mengatakan pertumbuhan ekonomi dan bulan ketiga 2022 sebesar 2,9 persen, inflasi 4,9 persen. Uang ada, namun tidak mengalir sampai ke bawah.

Ia menambahkan, tahun 2022 Bank Aceh coba dengan KUR Rp 25 miliar, sekarang baru masuk lagi Rp 10 miliar berdasarkan rekomendasi OJK untuk KUR.

“Bank Indonesia R p3 triliun mereka kucurkan untuk UMKM, bahkan yang sangat riskan yaitu utra mikro, sentuh kalangan pro supra KUR,” Pungkasnya. [*]

News

Kabar Aceh

×
Berita Terbaru Update