Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Hadiri Pelantikan Presiden RI Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, Bamsoet Dorong Dibentuknya Otoritas Perlindungan Data Pribadi

Minggu, 20 Oktober 2024 | 19.55 WIB Last Updated 2024-10-21T10:36:24Z
JAKARTA - Anggota DPR RI dan Ketua MPR RI ke-15 Bambang Soesatyo mendorong Presiden RI Prabowo Subianto yang baru dilantik untuk membentuk Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDA). OPDA akan berperan sebagai garda terdepan dalam mengawasi badan-badan publik, baik korporasi, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif, organisasi maupun kementerian dan lembaga dalam perlindungan data pribadi. OPDA juga akan melakukan upaya preventif melalui pengawasan dan mitigasi risiko agar data pribadi masyarakat dapat dilindungi secara optimal. 

Dasar hukum pembentukan OPDA diatur dalam Undang-Undang No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah resmi berlaku tanggal 17 Oktober 2024, setelah masa transisi dua tahun berakhir. Pasal 58 UU PDP mewajibkan pemerintah membentuk OPDA untuk memastikan perlindungan data pribadi secara efektif. OPDA bertugas mengawasi pelaksanaan perlindungan data pribadi oleh pengendali termasuk prosesor data, memberikan rekomendasi kebijakan, dan menegakkan sanksi terhadap pelanggaran regulasi. 

"Pasal 59 dan 60 UU PDP menjabarkan wewenang OPDA. Termasuk menyusun kebijakan nasional terkait perlindungan data pribadi, mengawasi kepatuhan pengendali dan prosesor data, menerima pengaduan, menyelesaikan sengketa, serta memberikan edukasi dan literasi kepada masyarakat," ujar Bamsoet usai mengikuti Sidang Paripurna MPR Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029 di Gedung Parlemen, Minggu (20/10/24).

Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum & HAM ini menegaskan, OPDA harus kuat, independen, bebas dari konflik kepentingan, serta dipimpin oleh sosok yang menguasai regulasi perlindungan data pribadi, memahami transformasi digital dan memiliki integritas tinggi. Karena, OPDA memiliki kewenangan memberikan sanksi maksimal 2 persen dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran yang dilakukan oleh pengendali data pribadi. 

"OPDA harus mendorong pengendali data memenuhi standar perlindungan data pribadi sehingga menjadi upaya preventif. Jika ini dilakukan secara efektif, maka negara menjadi sangat terbantu dan tidak melakukan upaya strategis ini secara sendirian," kata Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik dan Keamanan KADIN Indonesia ini memaparkan, pembentukan OPDA dibawah presiden menjadi keniscayaan. Sebab, saat ini ancaman pelanggaran data pribadi semakin masif dan kasus-kasus pelanggaran data pribadi juga menjadi fenomena internasional yang mengkhawatirkan. Semisal, Otoritas Perlindungan Data Irlandia (IE DPA) sempat menghukum Meta Platform Ireland Limited (Meta IE) dengan denda 1,2 miliar Euro atau setara dengan Rp 20 triliun.

Di dalam negeri kebocoran data pribadi juga telah banyak terjadi. Diantaranya, kebocoran data pribadi 91 juta pengguna aplikasi belanja online Tokopedia di bulan Mei 2020, kebocoran data 44 juta pengguna aplikasi MyPertamina di bulan November 2022 ataupun kebocoran data pribadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 252 juta  jelang Pemilu 2024 lalu.

"Pimpinan OPDA selayaknya adalah individu yang kompeten di bidang perlindungan data pribadi, hukum, teknologi informasi, manajemen data serta memahami digital serta mitigasi risiko perlindungan data. Presiden memiliki hak prerogatif secara penuh untuk menentukan orang terbaiknya sebagai pimpinan OPDA, tanpa terkendala persoalan struktur dan administrasi birokrasi ASN, seperti golongan/kepangkatan, usia, dan lain-lain. Terbaiknya, posisi pimpinan OPDA setingkat menteri yang dibawah langsung presiden," urai Bamsoet. 

Wakil Ketua Umum FKPPI dan Kepala Badan Bela Negara FKPPI yang juga Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, penting untuk memastikan independensi OPDA, mengingat semua kementerian dan lembaga pemerintah juga merupakan pengendali data pribadi yang menjadi badan yang harus diawasi oleh lembaga. Jika OPDA hanya berstatus sebagai bagian dari fungsi kementerian dengan level eselon I, maka diprediksi keberadaannya tidak akan cukup kuat, independen, dan sukar lepas dari konflik kepentingan. Mengingat banyak kementerian juga berperan sebagai operator pengelola platform digital yang memproses data pribadi. 

"OPDA yang independen dan kuat akan memastikan pengawasan yang efektif dan perlindungan data yang optimal. Secara faktual, kelemahan pengawasan ini yang justru menjadi titik paling rentan dalam menghadapi ancaman terhadap perlindungan data, termasuk kejahatan siber dan peretasan global," pungkas Bamsoet. (*)

News

Kabar Aceh

×
Berita Terbaru Update