Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Ombudsman RI Perwakilan Aceh : Kembalikan Kewenangan Pertambangan Pada Pemerintah Daerah

Kamis, 01 Juli 2021 | 23.24 WIB Last Updated 2021-07-01T16:24:29Z
Banda Aceh - Sehubungan dengan berlakunya UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Batu Bara dan Mineral, saya menyarankan kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk duduk bersama melakukan koordinasi.

Hal ini perlu dilakukan karena UU 3/2020 tersebut dalam Pasal 173-nya mengeksplisitkan bahwa bagi Provinsi Aceh terkait perihal pertambangan mengacu pada UUPA. Sehingga kini sudah saatnya bahwa urusan pertambangan sesuai kewenangannya dikembalikan ke Pemerintah Kabupaten/Kota. 

Hal tersebut disampaikan Dr Taqwaddin, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh yang disampaikan dalam Diskusi Multi Pihak dengan tema Kolaborasi Mendorong Tata Kelola Pertambangan Minerba pasca Pengesahan UU Nomor 3 Tahun 2020 di Aceh, Rabu (28/6)

Selain alasan juridis tersebut, Taqwaddin juga menyampaikan bahwa dalam beberapa tahun ini, pasca berlakunya UU No 23 Tahun 2014, semua kewenangan pertambangan yang dulunya menurut UUPA ada pada pemerintah kabupaten/kota, dihilangkan dan ditarik menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Karenanya, semua izin usaha pertambangan  mesti diterbitkan oleh gubernur atau menteri.

"Menurut hasil kajian Ombudsman RI Aceh pada tahun 2018, dampak faktual dari ketentuan ini (UU 23/2014) telah menyebabkan prosedur pengurusan izin pertambangan menjadi makin panjang dan mahal. Akibatnya, makin sedikit usaha pertambangan mineral bebatuan yang legal dan procedural di kabupaten/kota." Ujarnya.

Ia menambahkan dari aspek pengawasan lingkungan. Fakta lapangan menunjukkan bahwa akhir-akhir ini kerusakan lingkungan akibat usaha tambang bebatuan di daerah makin parah. Sedangkan pengawasan makin lemah. 

"Aparat kabupaten tidak lagi melakukan pengawasan dengan alasan mereka tidak memiliki kewenangan. Akibatnya, para pemain tambang pun makin “menggila”." pungkasnya.

Taqwaddin mengatakan, lingkungan menjadi korban. Aktivis dan akademisi lingkungan hanya bisa berdiskusi dan berkoar-koar di pusat ibukota provinsi. Sementara kerusakan lingkungan terus terjadi, mengorbankan warga masyarakat kabupaten/kota.

Situasi ini menjadi makin buruk selama tidak ada lagi Dinas Pertambangan di Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan aparatur pengawas tambang hanya ada dalam jumlah terbatas pada Dinas ESDM di Pemerintah Provinsi Aceh. 

Dari aspek kemanfaatan bagi masyarakat. Fakta selama ini bahwa daerah kabupaten/kota dan masyarakatnya nyaris tidak mendapat apa-apa dari usaha tambang yang terus marak tanpa izin.

Tidak ada dasar hukum melakukan pungutan apapun yang memberi manfaat bagi kabupaten. Pemkab hanya siap-siap menerima dampak negative berupa potensi bencana, tanpa bisa menarik retribusi apapun.  

"Mengacu pada dasar normatif dan fakta di atas, saya sarankan agar urusan tambang harus dikembalikan kewenangannya kepada pemerintah kabupaten/kota. Segeralah pemkab/pemko bertindak secara proaktif dan progessif." pungkas Taqwaddin.(Red)

News

Kabar Aceh

×
Berita Terbaru Update